Oleh: Drs. H. MohImron
Ka. KUA KecKrian
A. Pendahuluan
Perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut
hukum perdata perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama.[1] Sedangkan
menurut hukum islam perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitsaqan ghalididzan, untuk menaati perintah Allh dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Tujuan
perkawinan berdasarkan penjelasan Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal (mendapatkan
keturunan) bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menikah
atau melangsungkan suatu perkawinan merupakan fitrah manusia yang tidak dapat
dihilangkan, tetapi harus dilaksanakan pada jalan yang benar agar tidak
menyimpang dari aturan yang pada aKompilasi Hukum Islamnya menimbulkan
malapetaka bagi kelangsungan hidup manusia. Manusia membutuhkan pelengkap hidup
berupa perkawinan, laki-laki membutuhkan seorang perempuan sebagai pasangannya,
dan perempuan membutuhkan seorang laki-laki sebagai pelindungnya, yang demikian
ini merupakan hukum alam.
Tuhan
telah menciptakan segala mahluk yang ada dimuka bumi ini dengan
berpasang-pasangan. Manusia diciptakan untuk berjodoh-jodohan, agar generasi
yang akan datang di muka bumi ini bisa menyambung dan meneruskan cita-cita
generasi sebelumnya yang tidak selamanya hidup didunia, karena usia mereka yang
terbatas. Apabila ia tidak menurunkan generasi berikutnya, maka tidak ada lagi
generasi penyambung perjuangan, dunia akan mati dalam kurun waktu yang relatif
singkat.
Perkawinan
adalah perilaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan di alam dunia
berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan manusia tetapi
juga pada hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu manusia sebagai makhluk yang
berakal, perkawinan merupakan salah satu budaya beraturan yang mengikuti
perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat
sederhana budaya perkawinannya tertutup, sedangkan dalam masyarakat yang maju
(modern) budaya perkawinannya maju, luas dan lebih terbuka.
Budaya
perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu
bangsa, tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat
itu berada serta pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut
masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia,
bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat tetapi juga dipengaruhi
ajaran agama, bahkan juga dipengaruhi budaya barat. Jadi, walaupun Bangsa
Indonesia kini telah memiliki hukum positif sebagai landasan dasar melakukan
suatu perkawinan, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, namun pada kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat Indonesia
masih tetap berlaku ketentuan adat dan upacara-upacara adat dalam melangsungkan
perkawinan yang berbeda-beda, antara satu lingkungan masyarakat dengan
masyarakat lainnya. Sebagai contoh masyarakat Minangkabau dengan suatu tata
tertib perkawinan yang bersendikan keibuan, masyarakat Batak yang tata tertib
perkawinannya bersendikan kebapaan, dan masyarakat Jawa yang tata tertib
perkawinannya bersendikan kebapak-ibuan, yang di dalamnya tata tertib
perkawinan tersebut menggunakan suatu upacara adat perkawinan yang berbeda
antara satu dengan lainnya, selain itu juga menurut kepercayaan agama
masing-masing.
Suatu
cita-cita setiap orang untuk melaksanakan perkawinan dan menginginkan
perkawinan itu berlangsung selama akhir hayat, karena perkawinan dalam Islam
bertujuan yaitu :
1. Supaya
umat manusia itu hidup dalam masyarakat yang teratur dan tentram, baik lahir
maupun batin.
2. Supaya
kehidupan dalam suatu rumah tangga teratur dan tertib menuju kerukunan
anak-anak yang shaleh, yang berjasa dan berguna kepada kedua orang tua,
agama, masyarakat, bangsa dan negara.
3. Supaya
terjalin hubungan yang harmonis antara suami istri, seterusnya hubungan famili,
sehingga akan terbentuk ukhuwah yang mendalam yang diridhoi Allah swt.
Bertolak
dari rumusan tersebut bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat) dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang
dari pengertian negara hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan
Indonesia, artinya dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara
kita[2].
Dalam
prakteknya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan yang
sudah ditentukan, seperti terjadinya perkawinan di bawah umur, kawin siri,
kawin kontrak, hal ini berdampak terhadap perlindungan hak-hak dari keturunan
hasil pernikahan tersebut. Perintah Nabi SAW untuk melaksanakan pernikahan dan
melarang membujang terus-menerus juga sangat beralasan. Hal ini karena libido
seksualitas merupakan fitrah kemanusian dan juga makhluk hidup lainnya yang melekat
dalam diri setiap makhluk hidup yang suatu saat akan mendesak penyalurannya.
Bagi manusia penyaluran itu hanya ada satu jalan, yaitu perkawinan. Yang paling
hangat dibicarakan baru-baru ini terjadi perkawinan di bawah umur yang
dilakukan oleh Syekh Fuji terhadap Ulfa gadis di bawah umur. Tidak sedikit yang
melaksanakan kawin di bawah tangan. Meski menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat, perkawinan di bawah tangan hingga kini masih banyak dilakukan.
Bahkan sebenarnya tidak sedikit perempuan yang mengetahui “ruginya” jika
melaksanakan nikah di bawah tangan atau kawin siri, namun tetap saja banyak
yang mau melakukannya dengan berbagai alasan. Dengar saja keluhan Ny. Ranti
(bukan nama sebenarnya). “Saat ini saya sudah menikah di bawah tangan sebagai istri
kedua. Hal ini sudah berlangsung sekitar satu tahun. Kami sangat ingin membuat
surat nikah di KUA, namun memerlukan surat izin dari istri pertama suami. Tapi
sangat sulit untuk memperolehnya, “ keluh Ranti.[3] Demikian
pula pernikahan yang terjadi antara Lutfiana Ulfa (gadis dibawah
umur) dengan Syekh Fuji yang terus mendapat sorotan masyarakat dan pemerintah.
Terkait perkawinan dini yang dilakukan Pujiono Cahyo Wicaksono alias Syeh Puji
terhadap Lutfiana Ulfah, gadis bersuia 12 tahun di Bedono Semarang, membuat
berang Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan menilai Syeh
Pujiono terindikasi mengidap penyakit pedopilia. Akibat perbuatanya
tersebut, menurut Meutia, Pujiono bisa dijerat dengan Undang-Undang Perkawinan
dan Undang-Undang Tenaga Kerja dan Undang Undang Perlindungan anak.[4]
Pernikahan
yang mengundangpolemik di masyarakattersebut,
jugamengundangperhatianKetuaKomisiPerlindunganAnak Indonesia (KPAI)
SetoMulyadi, yang terusberupayamembujukSyekhPujiuntukmengembalikanUlfahkepangkuan
orang tuanya, karenamenurutSeto, Ulfahmasih di
bawahumursangatmembutuhkanperhatianseriusdari orang tua. Bahkan KPAI berharap
agar pernikahansiriinidibatalkan.
Berdasarkan
hal tersebut di atas perandari PelayananBadanPenasehatpembinaanPembinaanPelestarianPerkawinan
(BP4)
sangatdiperlukan, danbagaimanakiprahnyadalammenanganikasus-kasussepertitersebut di atas.
sangatdiperlukan, danbagaimanakiprahnyadalammenanganikasus-kasussepertitersebut di atas.
B. Peranan BP4
DalamUpayaPenyelesaianPerselisihanPerkawinan
Peraturan
Mentri Agama No. 3 Tahun 1975 Pasal 28 ayat (3) menyebutkan bahwa “Pengadilan
Agama dalam berusaha mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada
Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) agar menasehati
kedua suami istri tersebut untuk hidup makmur lagi dalam rumah tangga”.
Setiap
tahun ada dua juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian bertambah
menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangannya bercerai,
dan umumnya mereka yang baru berumah tangga.[i]
Islam
dengan tegas menyatakan dalam Al-Quran bahwa perceraian itu adalah suatu
perbuatan yang halal, tetapi paling dibenci Allah. Tapi, faltanya, perceraian itu
menjadi fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Dalam
Al-Quran 80 persen ayat membicarakan tentang penguatan bangunan rumah tangga,
hanya sebagian kecil yang membicarakan masalah penguatan negara, bangsa apalagi
masyarakat, sebab keluarga adalah sendi dasar terciptanya masyarakat yang
ideal, mana mungkin negara dibangun di atas bangunan keluarga yang berantakan.
Apabila
angka perceraian di masyarakat terus mengalami peningkatan, itu menjadi bukti
kegagalan dari kerja Badan Penasehat pembinaan Pembinaan Pelestarian Perkawinan
(BP4). Kasus perceraian suami-isteri ternyata jumlah isteri yang menggugat
cerai suami makin meningkat. Hal merupakan fenomena baru di enam kota besar di
Indonesia. Terbesar adalah di Surabaya.
Berdasarkan
data, di Jakarta dari 5.193 kasus, sebanyak 3.105 (60 persen) adalah kasus
isteri gugat cerai suami dan sebaliknya suami gugat cerai isteri 1.462 kasus.
Di Surabaya dari 48.374 kasus sebanyak 27.805 (80 persen) adalah kasus isteri
gugat cerai suami, sedangkan suami gugat cerai isteri mencapai 17. 728 kasus.
Di Bandung dari 30.900 kasus perceraian, sebanyak 15.139 (60 persen) adalah
kasus isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri sebanyak 13.415
kasus. Selanjutnya, di Medan dari 3.244 kasus sebanyak 1.967 (70 persen) adalah
isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya 811 kasus. Di
Makassar dari 4.723 kasus sebanyak 3.081 (75 persen) adalah isteri gugat cerai
suami, dan suami gugat cerai isteri hanya 1.093 kasus. Sedangkan di Semarang
dari 39.082 kasus sebanyak 23.653 (70 persen) adalah isteri gugat cerai suami
dan suami gugat cerai isteri hanya 12.694 kasus.
Penyebab
perceraian tersebut antara lain karena ketidakharmonisan rumah tangga mencapai
46.723 kasus, faktor ekonomi 24.252 kasus, krisis keluarga 4. 916 kasus,
cemburu 4.708 kasus, poligami 879 kasus, kawin paksa 1.692 kasus, kawin bawah
umur 284 kasus, penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak
916 kasus. Suami atau isteri dihukum lalu kawin lagi 153 kasus, cacat biologis
(tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis) 581 kasus, perbedaan politik 157
kasus, gangguan pihak keluarga 9. 071 kasus, dan tidak ada lagi kecocokan
(selingkuh) sebanyak 54. 138 kasus.
Tingginya
permintaan gugat cerai isteri terhadap suami tersebut, diduga karena kaum
perempuan merasa mempunyai hak yang sama dengan lelaki, atau akibat globalisasi
sekarang ini, atau kaum perempuan sudah kebablasan. Kesadaran atau kebablasan,
itulah antara lain yang menjadi perhatian kita semua sebagai umat beragama.
D. Kesimpulan
Dari pendahuluandanbeberapakasustersebutperan BP4 belum optimal dan tindak lanjut dari penyelesaian
kasus belumdapatdiselesaikansecarabaik. Disarankan kepada pasangan yang berselisih untuk
lebih memahami ilmu agama, ilmu munakahat, membina kembali keutuhan rumah
tangga dengan saling mengerti dan memahami kelebihan dan kekurangan
masing-masing pasangan. Kepada BP4 disarankan untuk lebih meningkatkan
pelayanannya kepada masyarakat. Kepada Kepala Kantor Departemen Agama agar
membina dan mengawasi kinerja BP4 agar lebih optimal dalam menjalankan tugas
pokoknya dalam menyelesaikan perselisihan perkawinan.
Posting Komentar